Sabtu, 11 Oktober 2008

Thalassemia


Apakah Thalassemia itu ?

Thalassemia adalah kelainan darah yang sifatnya menurun (genetik). Penderitanya mengalami ketidakseimbangan dalam produksi hemoglobin (Hb). Hemoglobin adalah komponen sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen. Hemoglobin terdiri dari beberapa jenis protein, diantaranya protein alpha dan protein beta.

Penderita thalassemia tidak mampu memproduksi salah satu dari protein tersebut dalam jumlah yang cukup. Sehingga sel darah merahnya tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya hemoglobin tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah yang cukup. Hal ini berujung dengan anemia (‘kekurangan darah’) yang dimulai sejak usia anak-anak hingga sepanjang hidup penderitanya.

Thalassemia terdiri atas beberapa tipe. Mereka yang tidak mampu memproduksi protein alpha dalam jumlah yang cukup disebut thalassemia alpha. Sedangkan mereka yang kekurangan produksi protein beta, menderita thalassemia beta. Di Indonesia lebih banyak ditemukan kasus thalassemia beta. Insiden pembawa sifat thalassemia di Indonesia berkisar antara 6-10%, artinya dari setiap 100 orang 6-10 orang adalah pembawa sifat thalassemia.

Jenis dan Gejala Thalasemia
Berdasarkan gejala klinis atau tingkat keparahannya

· Thalasemia Mayor
Terjadi bila kedua orang tuanya membawa gen pembawa sifat Thalasemia. Gejala penyakit muncul sejak awal masa kanak-kanak dan biasanya penderita hanya bertahan hingga umur sekitar 2 tahun. Penderita memerlukan transfusi darah seumur hidupnya.

Pada jenis ini terjadi kerusakan gen yang berat, sehingga jantung penderita mudah berdebar-debar. Berkurangnya hemoglobin berakibat pada kurangnya oksigen yang dibawa, sehingga jantungnya terpaksa bekerja lebih keras. Selain itu, sel darah merahnya cepat rusak sehingga harus senantiasa dibantu suplai dari luar melalui transfusi.

· Thalasemia minor/trait
Gejala yang muncul pada penderita Thalasemia minor bersifat ringan, biasanya hanya sebagai pembawa sifat. Istilah Thalasemia trait digunakan untuk orang “sehat” namun dapat mewariskan gen Thalasemia pada anak-anaknya

Kerusakan gen yang terjadi umumnya ringan. Penderitanya hanya menjadi pembawa gen thalas-semia, dan umumnya tidak mengalami masalah kesehatan, kecuali gejala anemia ringan yang ditandai dengan lesu, kurang nafsu makan, sering terkena infeksi dan sebagainya. Kondisi ini sering disalah artikan sebagai anemia karena defisiensi (kekurangan) zat besi.

· Thalasemia intermedia
Merupakan kondisi antara thalasemia mayor dan minor, mengakibatkan anemia berat dan masalah lain seperti deformitas tulang dan pembengkakan limpa. Rentang keparahan klinis pada thalassemia intermedia ini cukup lebar, dan batasnya dengan kelompok thalassemia mayor tidak terlalu jelas sehingga, keduanya dibedakan berdasarkan ketergantungan sang penderita pada tranfusi darah.

Thalassemia Merupakan Penyakit Turunan

Thalassemia diturunkan oleh orang tua yang carrier kepada anaknya. Sebagai contoh, jika ayah dan ibu memiliki gen pembawa sifat thalassemia (thalassemia trait), maka kemungkinan anaknya untuk menjadi pembawa sifat thalassemia adalah sebesar 50%, kemungkinan menjadi penderita thalassemia mayor 25% dan kemungkinan menjadi anak normal yang bebas thalassemia hanya 25%.

Tanpa perawatan yang baik, penderita thalasemia hanya dapat bertahan hidup sampai usia delapan tahun saja.

Thalasemia memang kurang populer. Namun, bukan berarti tak ada penderita penyakit ini di sekitar kita. Dengan perawatan yang baik, penderita thalasemia bisa melakukan aktivitas layaknya orang normal. Tapi jika tidak, thalasemia bisa merenggut nyawa.

Karena kurang populer, orang pada umumnya tidak paham gejala thalasemia. Mereka juga tidak tahu cara mendeteksi penyakit ini secara dini. Deteksi dini merupakan hal yang sangat penting. Sebab, jika terdeteksi secara dini, penanganan penyakit pun bisa dilakukan sedini mungkin. Hasilnya tentu lebih baik dibanding jika penanganan dilakukan ketika perjalanan penyakit sudah lanjut.

Penyakit thalasemia dapat dideteksi sejak bayi masih di dalam kandungan. Seperti dijelaskan Dr Suthat Fucharoen dari Pusat Studi Thalasemia Universitas Mahidol, Thailand, dalam simposium thalasemia di Jakarta, belum lama ini, jika suami atau istri merupakan pembawa sifat (carrier) thalasemia, maka anak mereka memiliki kemungkinan sebesar 25 persen untuk menderita thalasemia. Karena itu, ketika sang istri mengandung, disarankan untuk melakukan tes darah di laboratorium untuk memastikan apakah janinnya mengidap thalasemia atau tidak.

Selain dalam kandungan, thalasemia juga bisa dideteksi ketika si anak telah lahir dan mulai tumbuh. Pada mereka, gejala dini thalasemia dapat dilihat dari kulit dan wajah yang tampak pucat, pertumbuhan lebih lambat dibanding anak-anak pada umumnya, dan terjadi pembengkakan pada perut akibat pembengkakan limpa.

Hanya saja, gejala ini amat umum dan dapat terjadi pada banyak penyakit. ''Karena itu, untuk memastikan apakah seseorang menderita thalasemia atau tidak, maka harus dilakukan pemeriksaan darah,'' tutur Suthat. Gejala thalasemia, kata Suthat, dapat dilihat pada anak usia tiga sampai 18 bulan. Bila tidak mendapat perawatan serius, anak-anak dengan kelainan darah bawaan yang disebut thalasemia ini hanya dapat hidup hingga delapan tahun saja. ''Satu-satunya perawatan yang bisa dilakukan untuk penderita thalasemia mayor adalah dengan transfusi darah secara teratur seumur hidup,'' katanya.

Dengan perawatan rutin ini, penderita thalasemia bisa hidup normal bahkan dapat berkarier seperti halnya orang yang tidak menderita thalasemia. Tak heran, ada penderita thalasemia yang berhasil menjadi dokter, insinyur, atau profesi lainnya. ''Mereka memiliki kemampuan intelektual yang tidak berbeda dengan manusia normal,'' demikian Suthat.

Kerusakan DNA
Thalasemia, menurut pakar hematologi dari Rumah Sakit Leukas Stauros, Yunani, dr Vasili Berdoukas, merupakan penyakit yang diakibatkan oleh kerusakan DNA dan penyakit turunan. Penyakit ini muncul karena darah kekurangan salah satu zat pembentuk hemoglobin sehingga tubuh tidak mampu memproduksi sel darah merah secara normal.

Hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, jelas Berdoukas, mengandung zat besi (Fe). Nah, kerusakan sel darah merah pada penderita thalasemia mengakibatkan zat besi akan tertinggal di dalam tubuh. Pada manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh digunakan untuk membentuk sel darah merah baru.

Pada penderita thalasemia, zat besi yang ditinggalkan sel darah merah yang rusak itu menumpuk dalam organ tubuh seperti jantung dan hati (lever). Jumlah zat besi yang menumpuk dalam tubuh atau iron overload ini akan mengganggu fungsi organ tubuh. Menurut Berdoukas, penumpukan zat besi terjadi karena penderita thalasemia memperoleh suplai darah merah dari transfusi darah. Penumpukan zat besi ini, bila tidak dikeluarkan, akan sangat membahayakan karena dapat merusak jantung, hati, dan organ tubuh lainnya, yang pada akhirnya bisa berujung pada kematian. ''Penderita thalasemia tidak bisa memproduksi rantai globin sehingga tidak bisa memproduksi hemoglobin dan sel darah merahnya mudah rusak,'' kata dia dalam simposium yang sama.

Dikatakan Berdoukas, tidak sedikit penderita thalasemia yang meninggal dunia akibat penimbunan zat besi pada organ jantung. Walau penimbunan zat besi akibat transfusi darah terjadi di berbagai organ -- paling banyak di hati -- namun karena jantung mempunyai daya kompensasi yang kurang di banding organ lain, maka banyak penderita thalasemia meninggal karena komplikasi jantung.

Pencegahan
Pengidap thalasemia yang mendapat pengobatan secara baik dapat menjalankan hidup layaknya orang normal di tengah masyarakat. Sementara zat besi yang menumpuk di dalam tubuh bisa dikeluarkan dengan bantuan obat. Selama ini, kata Suthat, zat besi yang menumpuk di tubuh penderita thalasemia hanya bisa dikeluarkan dengan penyuntikan obat Desferal. Obat yang disuntikkan di bawah kulit ini akan mengikat zat besi dan dikeluarkan melalui urine.

Dia mengatakan, saat ini telah ditemukan tablet yang dapat menggantikan proses pembuangan zat besi berlebih dalam tubuh sehingga penderita tidak perlu mendapat suntikan Desferal. ''Tablet ini dapat mengurangi risiko gagal jantung karena penumpukan zat besi,'' kata Suthat. Walau begitu, pencegahan tetap lebih penting ketimbang pengobatan. Untuk mencegah penyebaran thalasemia, menurut Berdoukas, hal paling baik adalah melakukan tes darah pada setiap calon pengantin. ''Karena apabila salah satunya memiliki kerusakan DNA yang dapat menyebabkan thalasemia, maka ada kemungkinan penyakit itu menurun pada anak mereka.''

Saran tersebut tentu perlu dipertimbangkan oleh para calon pengantin. Sebab, harus diakui, thalasemia sudah ada di tengah masyarakat Indonesia. Data menunjukkan, terdapat 3.000 penderita thalasemia yang terdaftar dan tersebar di Pulau Jawa. Dari jumlah itu, 1.300 di antaranya tinggal di Jakarta. Untuk Indonesia, diperkirakan terdapat 3.000 penderita baru setiap tahun. Sementara di Thailand, terjadi penambahan penderita thalasemia sebanyak 12 ribu orang setiap tahunnya. bur

Penyembuhan Thalasemia Terganjal Obat Mahal

JAKARTA-Jumlah penderita thalasemia di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Pusat Thalasemia Indonesia, setiap tahun, jumlah penderita penyakit tersebut berkisar antara 500-1.250 orang. Data ini bukanlah “isapan jempol”. Pusat Thalasemia bahkan mencatat adanya rata-rata 70 orang pasien baru per harinya.

Pada 2006, ada 93 pasien baru yang datang ke Pusat Thalasemia. Dari awal Januari hingga Maret 2007 saja, tercatat 1.700 pasien baru yang datang ke sana. Menurut Dr Pustika Amalia Wahidayat, SpA(K) dari Bagian Hematologi-Onkologi Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ini tak lepas dari mahalnya biaya untuk pengobatan penyakit ini. Dari sekitar 1.200 penderita thalasemia di Indonesia, hanya 600 penderita saja yang dapat menggunakan desferal lewat suntikan. Dosis yang digunakan pun tergantung berat badan. Penderita makin gemuk, makin banyak pula dosisnya. “Total biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan bagi pasien thalasemia setiap tahunnya sebesar Rp 300 juta. Bayangkan saja si pasien setiap hari harus disuntik desferal dimana harga 1 vialnya mencapai Rp 120.000,” papar Pustika, di Jakarta, akhir pekan lalu (14/4). Sayangnya, lanjut Pustika, sebagian penderita thalasemia berasal dari keluarga miskin. Sementara itu, pemerintah Indonesia belum memiliki dana yang cukup untuk penderita thalasemia baik lewat Askeskin maupun kartu Gakin.

Saat ini memang sudah ada obat oral untuk penderita thalasemia, yaitu Deferifiron. Namun, harga obat tersebut tetap saja mahal, yakni sekitar Rp 30 juta untuk 100 kapsul dengan dosis 500 mg.
Thalasemia sendiri, dijelaskan ahli Hematology dari RS Leukos Stavros Yunani Dr Vasili Berdoukas, terjadi karena darah kekurangan salah satu zat pembentuk hemoglobin. Akibatnya, tubuh tidak mampu memproduksi sel darah merah yang normal. Di satu sisi, pasien thalasemia yang tidak rutin melakukan pengobatan atau sama sekali tidak melakukan pengobatan dapat bertahan hidup di bawah 7 tahun. Namun, bagi mereka yang rutin melakukan pengobatan, dapat bertahan hidup hingga 39 tahun bahkan lebih.

Di Pusat Thalasemia, saat ini ada pasien yang berusia 39 tahun dan yang termuda berusia 8 bulan.
Kendala ini sebenarnya juga diketahui pemerintah. Menurut Prof Dr dr Sutaryo, SpA(K), pemerintah Indonesia tidak memiliki dana yang cukup untuk memberikan subsidi kepada penderita thalasemia.

Kisah Hidup Bersama Thalasemia

Rizal Ali (39), salah satu dari ribuan orangtua penderita thalasemia. Rizal Ali dan istrinya, Elly (36), memiliki tiga buah hati, yaitu Tasya (11), Aditya (8), dan Alif (5). Yang sangat memukul Rizal Ali, ketiga buah hatinya itu semuanya menderita thalasemia mayor. Bisa dibayangkan berapa besar biaya yang harus ia tanggung agar anak-anaknya tetap hidup.

"Setiap bulan, setiap anak memerlukan perawatan yang memakan biaya Rp 1,3 juta. Jadi total saya mengeluarkan dana sekitar Rp 3,5 juta per bulan untuk pengobatan anak-anak saya. Ini berat luar biasa bagi saya, tetapi bagaimana lagi, ini kewajiban saya, dan saya dituntut untuk menjaga anak," kata Rizal Ali yang bekerja sebagai suplier.

Karena keterbatasan dana, ia pun terpaksa membawa anak- anaknya berobat ke Pusat Thalasemia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, untuk melakukan transfusi darah secara bergiliran. "Anak tidak saya bawa bersamaan, tetapi saya gilir," katanya. Ia membagi jadwal: minggu ini anak pertama, minggu depan anak kedua, dan seterusnya, agar ia tidak mengeluarkan uang secara serentak untuk pengobatan tiga anaknya…….

Sri Rahayu (35) di tahun 2004. Warga Kecamatan Jakasampurna, Bekasi Selatan, itu tiba-tiba menemukan anak keempatnya, Ismail Affandi (3)—yang pada saat itu masih berusia tujuh bulan—mendadak pucat. Sri membawa anaknya ke bidan. Setelah dicek, Affandi ternyata dirujuk ke rumah sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit hingga lima kali.

Pada suatu hari ia dirujuk ke RSCM. Saat itulah baru ketahuan kalau Affandi menderita thalasemia mayor. Agar Affandi bertahan hidup, Sri pun harus membawa Affandi ke Pusat Thalasemia RSCM untuk transfusi darah setiap bulan.

"Untungnya, saya punya kartu gakin (keluarga miskin). Jadi untuk transfusi dan suntik desferal bisa gratis," kata Sri. Untuk alat pompa infus desferal yang harganya 350 dollar AS per pompa, Sri bisa meminjamnya di Pusat Thalasemia.

Untuk desferal, Sri hanya bisa mendapatkan untuk lima hari. "Mestinya 10 hari, tetapi saya dapat untuk lima hari. Sulit sekali bagi keluarga miskin di luar Jakarta untuk dapat obat itu," kata Sri.

Idealnya, seorang penderita thalasemia harus melakukan kelasi atau pembersihan zat-zat besi lima kali seminggu, 20 kali sebulan. Pemakaian pompa suntiknya setiap malam selama 8-12 jam. Begitu anak bangun pagi, suntikan/infus desferal dilepas dan ia dapat bebas beraktivitas, seperti bersekolah.

Kondisi anaknya itu mau tidak mau makin menambah beban keluarga Sri Rahayu. Meskipun tidak perlu mengeluarkan biaya untuk perawatan anaknya di RSCM, namun ia tetap harus mengeluarkan biaya transportasi dari Bekasi ke RSCM. Dalam seminggu ia bisa beberapa kali ke RSCM.

"Ini berat, apalagi suami saya sudah tidak bekerja karena toko rotinya tutup. Dia biasanya jualan roti keliling," kata Sri yang anak keduanya sudah meninggal dunia. "Saya tidak tahu anak kedua saya itu meninggal karena thalasemia atau tidak," ucap Sri.

Kerepotan yang sama juga dialami Aidah (35). Anak pertamanya, Indra Hidayatullah (14), juga menderita thalasemia mayor. "Waktu dia umur 1,5 bulan sampai enam bulan diare terus, dan mukanya pucat. Umur sembilan bulan, dia susah makan. Mukanya makin pucat, perutnya makin buncit," kenang Aidah.

Pada bulan November 1995 ia membawa Indra ke RSCM untuk cek darah dan sumsum. Rupanya Indra menderita thalasemia mayor. Sejak itulah Indra harus mengakrabi jarum transfusi darah dan suntikan desferal 15 hari sebulan. Kini dengan bertambahnya usia dan berat badan, sekali transfusi ia menghabiskan dua kantong darah.

Betapapun repotnya, anak-anak dan orangtua penderita thalasemia mayor harus bisa hidup bersama thalasemia. Mereka harus "berdamai" dengan penyakit yang merupakan penyakit bawaan ini.

Referensi:

1. McGhee D, Payne M. Hemoglobinopathies and Hemoglobin Defects. In Diagnostic Hematology. 1995. WB Saunders Company.

2. Wild BJ, Bain BJ. Investigation of abnormal haemoglobins and thalassaemia. In Practical Haematology. 2001. Churchill Livingstone.

3. Permono B, Ugrasena IDG. Haemoglobin Abnormal. Buku Ajar Hematologi Anak. 2005 IDAI .

5 komentar:

Abd Rohman Nur Karim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
LILIK ERNAWATI mengatakan...

2 adik saya mengalamai talasemia

LILIK ERNAWATI mengatakan...

Saya kadang ketakutan jika anak saya mengalami hal yg serupa adik saya

LILIK ERNAWATI mengatakan...

Saya kadang ketakutan jika anak saya mengalami hal yg serupa adik saya

LILIK ERNAWATI mengatakan...

2 adik saya mengalamai talasemia